Memaafkan dan Melupakan (?)
Tadi, tiba-tiba saja saya teringat dengan kenyataan bahwa laptop
(jg kamera) sya dlu pernah hilang entah kemana. Besar kemungkinan dicuri
orang.. ketika saya mengingat-ingatnya, dn berusaha mengingat kembali apa
yg dulu sya rasakan, entah gimana perasaan sakit hati dn marah yg dulu sya rasakan
agak terasa jg. Ada sesuatu yg tiba2 muncul di dada. Tidak menyesakkan sekali,
memang, namun cukup mmbuat sya bertanya: jangan-jangan sya blum bisa mengikhlaskan
barang2 sya tersebut, dan juga sya blm bs memaafkan orang(-orang) yg mengambil
barang2 itu.
Saya (atau kita) seringkali mendengar kalimat “aku
memaafkan, tapi tidak melupakan”. Bahkan mungkin diantara kita ada yg memegang
prinsip itu: memaafkan namun tdk melupakan. Sya rasa pilihan utk bersikap
seperti itu adalah kemerdekaan setiap pribadi. Akan tetapi sya (sebenarnya sejak
dulu) mempertanyakan akan hal tersebut.
Dulu, saya meragukan ketulusan
seseorang yg memilih untuk memberi maaf namun enggan untuk melupakan. Namun kini, sya mencoba melihatnya dengan lebih objektif.
Bahwa “tidak melupakan” tidak berarti membuat kita berusaha “mengingat-ingat”
akan kesalahan orang lain yg menimbulkan luka lama dalam diri kita.
“Tidak
melupakan” menjadi memiliki arti positif, ketika kita menjadikannya sebagai
sarana pembelajaran yg berharga, terutama untuk diri kita sendiri. Kita
memilih utk tidak melupakan kesalahan orang agar kita jg tidak jatuh kepada
kesalahan yg sama. Contohnya, kita pernah merasakan sakit yg luar biasa
krena ditipu oleh rekan kita sendiri. “Tidak melupakan” pengalaman pahit itu menjadi
hal yg positif ketika kita berusaha untuk tdk akan pernah menipu org lain; karena
kita tahu betapa tindakan itu mampu menimbulkan luka yg mendalam bagi orang
lain.
Akan tetapi di satu sisi perlu diakui jg betapa “tidak
melupakan” bisa menjadi hal yg negatif ketika kita berusaha utk
“mengingat-ingat” kesalahan yg dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini,
pemberian maaf yg kita lakukan akan menjadi percuma, krena fokus kita msh
terarah kepada kesalahan yg pernah dilakukan oleh orang lain. Sikap dan tindakan
“mengingat-ingat” itu, entah kita sadari atau tidak, membuat kita kembali
mengenang dan merasakan luka yg dulu pernah kita rasakan.
Tanah yg sdh
dicangkul dan dibuat lubang, bisa ditutup kembali; meskipun bentuk tanahnya tidak
akan sama lagi. “Mengingat-ingat” kesalahan yg pernah dilakukan oleh orang lain
sama saja dengan kita menggali lagi tanah bekas lubang itu! Kita menggali dan
menutupnya kembali; menggali dan menutup; begitu terus. Akhirnya kita hanya
berkutat di tanah berlubang itu. Kita menjadi lupa betapa luasnya tanah yg kita
miliki, yg bisa kita pakai untuk menanam dn menghasilkan buah..
Maka itu, memaafkan dan “tidak melupakan” adalah pilihan setiap
pribadi. Jika kamu merasa dengan kamu “tidak melupakan”, kamu bs belajar dari
pengalaman pahit itu dn terpanggil utk tdk melakukannya, maka janganlah
melupakan.
Tapi jika dengan “tidak melupakan” km cenderung utk sekedar
“mengingat-ingat” kesalahan yg hanya membangkitkan luka lama dn membuat km
hanya mencari kambing hitam atas hal itu, maka “maaf” yg kamu beri harus bisa
diiringi dengan “melupakan” kesalahan yg dilakukan orang lain. Lupakan, krna
itu bisa membuat dirimu tenang; Lupakan, krena itulah hal yg benar untuk
dilakukan; dan Lupakan, krena dengannya kmu bisa merasakan kedamaian…
Rumah Purwokinanti, 8
Oktober 2015, 2:00 AM
Komentar
Posting Komentar