Sajak Terakhir.
Pernah dalam suatu masa seorang perempuan
menyumpah-serapahiku dengan
karya tangan sang Maestro Chairil Anwar bertajuk “Tak
Sepadan”.
Emosinya liar diobrak-abrik cinta yang abu-abu;
Hasil pertarungan sengit antara nalar dan rasa, yang saling
melukai begitu rupa
akibat hamparan sejarah yang bernama pengalaman.
Pengalamannya aneh: saling cinta mengapa tidak bersama?
Dan hidupnya dipenuhi tanda tanya yang mematikan..
Waktu berjalan, tak ada lagi puisi Chairil
seiring dengan jiwa yang semakin matang.
Hanya ada tenang dan fikiran bahwa “beginilah cara kerja
orang dewasa”.
Perempuan itu melanjutkan perjalanan: jatuh hati dan siap
mengarungi samudera.
Sementara aku asik berjalan-jalan dan melihat dunia..
Semua terasa baik-baik saja, hingga tiba tahun yang tak
terlupakan.
Tahun yang berdiri angkuh dalam balutan angka yang
menyimbolkan kesialan itu
berhasil mengubah peziarahan yang terasa asik-asik saja.
Aku tenggelam dalam pelarian moral yang hanya terbayangkan
mimpi,
dan perempuan itu masuk dalam gelapnya hutan yang penuh
dengan misteri.
Keindahan yang tersisa hanya ketika
berdua menikmati sejuknya udara Kerajaan Mataram...
Waktu berjalan kembali, sesekali menggoyahkan keyakinan
karena menghadirkan kembali euforia
dan mimpi-mimpi absurd manusia.
Dan sekarang aku di sini.
Merenungkan kembali betapa benarnya propaganda Thomas Hobbes
dengan sabdanya tentang manusia sebagai serigala.
Mataku melihat dalam, bagaimana ia, yang lemah lembut dan
penuh pertobatan,
menciderai begitu banyak hati
hanya demi gengsi dan nama, atau kebahagian yang tak
sungguh-sungguh ada.
Tak kan ku kembalikan karya Chairil itu kepada dirinya.
Tidak.
Karena aku tidak pernah benar-benar tinggal rangka;
dan ia tidak akan pernah benar-benar bahagia.
Karena ia telah lepas dari hati nurani manusia,
dan masuk kepada serigalanya manusia..
Ini yang terakhir,
hari esok tidak akan ada lagi...
Rabu, 8 November 2017. 15:34
Dalam keheningan Kantor Marturia...
Komentar
Posting Komentar